BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Pendidikan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi bagi kehidupan manusia. Tanpa
pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat berkembang sejalan dengan
aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan
hidup mereka (Ihsan, 2008 : 2). Sejalan
dengan perubahan zaman, pendidikan juga terus berkembang. Dalam penerapan pendidikan UNESCO merekomendasikan
6 pilar pendidikan yaitu learning to
know, learning to do, learning to be, learning to live together, learning how
to learn, learning throughout life (Suwarno, 2006 :76).
Learning to
know bukan hanya memiliki materi
sebanyak-banyaknya tetapi juga bagaimana memahami makna di balik materi ajar
yang telah diterima. Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know yaitu bukan hanya sebatas
teori tetapi bagaimana perbuatan atau praktik yang sebenarnya, learning to be
akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan ataupun tokoh masyarakat yang mampu
menggali dan menentukan nilai kehidupan.
Learning to
live together menuntut seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat bagi diri dan masyarakatnya.
Learning how to learn akan membawa
peserta didik untuk mampu mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih
independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien dan penuh percaya diri.
Learning throughout life menuntun peserta didik agar belajar terus menerus
sepanjang hayat karena ilmu sebenarnya
tidak terbatas.
Dalam
sebuah pendidikan tentunya diperlukan suatu proses-proses pembelajaran
yang merupakan suatu kegiatan yang
diawali dengan interaksi antara guru dan murid dimana akan diakhiri dengan
suatu proses evaluasi atau hasil belajar. Kegiatan pembelajaran ini merupakan
suatu kegiatan yang disadari atau direncanakan (Ibrahim & Syaodih, 2003 :
50).
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dikenal sebagai mata pelajaran
membosankan, terlalu banyak hafalan, dan sering mendapatkan perhatian minoritas
saat pembelajaran di kelas. Peneliti banyak mendengar pendapat semacam ini dari
pelajar, termasuk siswa SD. Berdasarkan pengamatan di SD Negeri 3 Mlandingan
Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo, banyak siswa yang kurang
antusias jika membicarakan tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), mereka lebih
tertarik dengan matematika dan bahasa Inggris. Dianggap sebagai mata pelajaran
membosankan dan hanya mengandalkan hafalan, membuat siswa sering menyepelekan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), ditambah lagi mata pelajaran ini tidak masuk
dalam Ujian Nasional (UN).
Stereotype yang menganggap Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) sebagai mata pelajaran hafalan sangat berpengaruh terhadap kondisi
pembelajaran di kelas. Siswa menjadi kurang termotivasi ketik belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) karena dihantui banyaknya materi yang harus
dihafalkan. Mata pelajaran dengan materi segudang tersebut pada akhirnya
dilakukan dengan tuntutan harus menyelesaikan materi tanpa mempertimbangkan
bagaimana perkembangan potensi siswa. Keadaan yang demikian sebenarnya bukan
sepenuhnya kesalahan siswa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemilihan
metode dan model pembelajaran yang tepat akan berpengaruh terhadap kondisi
kelas saat pembelajaran.
Pendekatan Somatis Auditori Visual Intelektual (SAVI)
merupakan sebuah pendekatan dalam belajar yang diperkenalkan oleh Dave Meier.
Pendekatan ini menggabungkan empat unsur dalam belajar, Somatis (S) yaitu
bergerak, Auditori (A) mendengarkan dan berbicara, Visual (V) melihat dan
mengamati, dan Intelektual (I) yaitu kemampuan berpikir untuk menyelesaikan
masalah dan merenunginya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
pembelajaran yang menyenangkan tidak lagi cukup, tetapi harus diimbangi dengan
kemampuan intelektual siswa untuk memecahkan masalah dan mampu merenunginya,
sehingga terjadi perubahan sikap. Menerapkan pendekatan Somatis Auditori Visual
Intelektual (SAVI) dalam belajar berarti menggabungkan kemampuan indera siswa
untuk lebih memahami suatu materi yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kemampuan intelektual siswa.
Berangkat
dari latar belakang di atas maka dalam penelitian skripsi ini, peneliti
mengangkat judul “Efektivitas pendekatan Somatis,
Auditori, Visual, Intelektual dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD
Negeri 3 Mlandingan Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo”
1.2
Rumusan Masalah atau Fokus Masalah
Berdasarkan
pemikiran dan latar belakang masalah yang sudah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas pendekatan Somatis,
Auditori, Visual, Intelektual dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD
Negeri 3 Mlandingan Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak di capai oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui efektivitas pendekatan Somatis,
Auditori, Visual, Intelektual dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD
Negeri 3 Mlandingan Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara pengembangan ilmu
pengetahuan (perspektif akademik) maupun secara pembangunan dalam arti luas
(perspektif praktis).
1. Pengembangan ilmu pengetahuan (perspektif akademik)
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa pada pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
2. Pembangunan dalam arti luas (perspektif praktis)
peneltin ini di harapkan dapat menjadi
sumber yang akurat untuk memberikan informasi dan rekomendasi bagi guru
mengenai peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa pada pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pendekatan Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
2.1.1 Pengertian
Pendekatan Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
Pendekatan SAVI
adalah proses belajar siswa dengan menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas
intelektual serta penggunaan semua indera. Pendekatan SAVI menganut aliran ilmu
kognitif modern yang menyatakan belajar yang paling baik adalah melibatkan
seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi,
menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar
dengan cara-cara yang berbeda (Herdian, 2009).
Pembelajaran
dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar
haruslah memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri
bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) dimana belajar dengan
mengalami dan melakukan; bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui
mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan
pendapat, dan menanggapi; bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata
melalui mengamati, menggambarkan, mendemonstrasikan, membaa menggunakan media,
dan alat peraga; dan intelektual yang bermakna bahwa belajar haruslah
menggunakan kemampuan berfikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi
pikiran dan berlatih menggunakan melalui bernalar, menyelidiki,
mengidentifikasi, menemukan, menciptakan, mengkonstruksi, memecahkan masalah,
dan menerapkan (Suyatno, 2009:65).
Teori
yang mendasari Meier dalam mencetuskan pendekatan Somatic, Auditori, Visual,
Intelektual (SAVI) adalah teori belajar aktif yang diistilahkan Meier (2002:90)
dengan ”Belajar Berdasarkan Aktivitas” (BBA). Teori ini dilatarbelakangi oleh
pendidikan di New England pada abad ke-19 yang cenderung memandang manusia hanya
sebagai tubuh dan pikiran (Meier, 2002:56). Aktivitas tubuh dan pikiran
dipisahkan dalam kegiatan belajar sehingga pembelajaran berlangsung kaku dan
tidak menyenangkan. Selain itu, pendidikan di New England pada saat itu
menekankan pada pembelajaran individual. Hal ini ditentang oleh Meier dan
mendorongnya untuk melakukan penelitian.
Menurut
Meier, ”belajar bukanlah peristiwa kognitif yang terpisah melainkan sesuatu
yang melibatkan diri seseorang secara utuh (tubuh, pikiran dan jiwa) serta
kecerdasan yang utuh (Meier, 2002:42). Pendapat tersebut mengantarkan Meier
pada sebuah kesimpulan penelitiannya yang menyatakan bahwa manusia memiliki
dimensi somatis, auditori, visual dan intelektual. Berdasarkan pandangan
tersebut Meier mengajukan pendekatan pembelajaran aktif yang diberi nama
Pendekatan Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI). Pendekatan SAVI ini
menekan pembelajaran dengan memanfaatkan semua alat indra siswa (Rosadi, 2009).
Istilah
SAVI merupakan kependekan dari: Somatis (S)
yaitu gerakan tubuh (hands-on,
aktivitas fisik) yang menuntut belajar dengan mengalami dan melakukan. Auditori
(A), menekankan proses belajar
melalui mendengarkan, menyimak,
berbicara, presentasi, argumentasi dan menanggapi. Visual (V), bermakna belajar dengan menggunakan
indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca,
menggunakan media dan alat peraga. Intelektual (I), bermakna bahwa belajar dengan menekankan pada kemampuan
berpikir (minds-on). Belajar harus
dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakan nalar, mengidentifikasi,
menyelidiki, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan
menerapkan (Suhermawan, 2008).
2.1.2 Prinsip
Dasar Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
Selain
itu Meier (2002:54) juga mengemukakan prinsip-prinsip pokok belajar yang
meliputi:
A.
Belajar melibatkan
seluruh tubuh dan pikiran.
B.
Belajar adalah
berkreasi, bukan mengkonsumsi.
C.
Kerjasama membantu
proses belajar.
D.
Pembelajaran
berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
E.
Belajar berasal
dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
F.
Emosi positif
sangat membantu pembelajaran.
G.
Otak-citra menyerap
informasi secara langsung dan otomatis.
Berdasarkan
prinsip-prinsip belajar di atas, dapat dikatakan bahwa belajar merupakan
kegiatan yang menekankan pada penyatuan aktivitas fisik dan pikiran, penggunaan
indera, kreativitas, dan kemandirian. Selain itu, prinsip pokok belajar
tersebut juga menekankan adanya kerja sama dalam belajar sehingga pembelajaran
kooperatif yang ditekankan dan bukan pembelajaran individual.
Teori
belajar aktif Meier menekankan pada keterlibatan siswa sepenuhnya dalam
pembelajaran. Teori ini juga memandang bahwa gerakan fisik dapat meningkatkan
proses mental. Teori tersebut berdasarkan atas letak otak manusia yang mengatur
gerakan tubuh (korteks motor) terletak di sebelah otak yang berfungsi untuk
berpikir.
Bagian
manusia yang berfungsi mengatur gerakan tubuh (korteks motor) terletak di
bagian otak. Bagian ini berfungsi berpikir dan memecahkan masalah (Meier,
2002:90). Artinya, menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk
berfungsi secara maksimal. Sebaliknya melibatkan tubuh dalam belajar cenderung
mengembangkan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya.
Pendapat
Meier di atas, dapat dikatakan bahwa tubuh dan pikiran merupakan dua hal yang
tidak dapat terpisahkan dalam belajar. Belajar akan terhambat jika tubuh dan
pikiran terpisah dan sebaliknya belajar akan meningkat jika tubuh dan pikiran
menyatu, dengan kata lain, aktivitas fisik dan pikiran merupakan dua esensi
yang harus ada dalam belajar. Dari uraian di atas, teori belajar aktif Meier
merupakan teori belajar yang menekankan adanya penyatuan aktivitas fisik dan
pikiran dalam belajar.
Pendekatan
Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI) juga dapat mengatasi gaya belajar
siswa yang beragam dalam satu kelas. Artinya dengan pendekatan Somatic,
Auditori, Visual, Intelektual (SAVI), siswa yang gaya belajarnya cenderung somatis, auditori, maupun visual
dapat sama-sama menyerap pengetahuan atau materi yang disampaikan oleh guru. Di
samping itu, pendekatan Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI) juga
menekankan pada intelektual yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan
kreatif dalam memecahkan masalah.
2.1.3
Karakteristik Pendekatan Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
Sesuai
dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan
Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu:
A.
Somatis
Somatis berasal dari bahasa Yunani yaitu somatic yang berarti tubuh – soma.
Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan
berbuat. Menurut Meier (2002:92) pembelajaran somatik adalah pembelajaran yang
memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan fisik
dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung) Pada dasarnya
komponen somatik ini memberikan kebebasan siswa untuk bergerak saat menerima
pelajaran, merangsang pikiran dan tubuh di dalam kelas dalam menciptakan
suasana belajar siswa aktif secara fisik. Siswa dapat menciptakan gambar atau
menjalankan pelatihan belajar aktif, misalnya dengan simulasi, permainan
belajar dan yang lainnya (Meier, 2002:95).
B.
Auditori
Auditori berarti belajar dengan indra pendengaran. Belajar dengan berbicara
dan mendengar. Pikiran manusia lebih kuat daripada yang mereka sadari, telinga
manusia terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa mereka
sadari. Ketika manusia membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area
penting di otak manusia menjadi aktif. Hal ini dapat diartikan dalam pembelajaran
guru hendaknya mengajak siswa membicarakan apa yang sedang mereka pelajari,
menerjemahkan pengalaman siswa dengan suara. Mengajak mereka berbicara saat
memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, membuat rencana
kerja, menguasai keterampilan, membuat tinjauan pengalaman belajar, atau
menciptakan makna-makna pribadi bagi diri mereka sendiri. Belajar dengan
auditori dapat menggunakan pengulangan dengan meminta siswa menyebutkan kembali
konsep, guru menggunakan variasi vokal berupa perubahan nada, kecepatan dan
volume (DePorter, 2005:85). Guru juga dapat memanfaatkan suara siswa sebagai
sumber belajar bagi siswa lain atau memanfaatkan media pembelajaran yang
mengeluarkan suara.
C.
Visual
Visual berarti belajar dengan menggunakan indra penglihatan. Meier
(2002:97-99) mengemukakan bahwa belajar visual berarti belajar dengan mengamati
dan menggambarkan. Dalam otak manusia terdapat lebih banyak perangkat untuk
memproses informasi visual daripada indra yang lain. Setiap siswa yang
menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang
dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program komputer. Secara
khusus pembelajaran visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari
dunia nyata, diagram, peta gagasan, dan ikon ketika belajar. Guru juga dapat
menggunakan variasi tulisan, warna, gambar dan kertas. Guru harus mendorong
siswa untuk menyusun pelajaran mereka dengan berbagai kreasi pada catatan,
tugas, peta konsep dan lain-lain.
D.
Intelektual
Intelektual Menurut Meier (2002:99) belajar dengan memecahkan masalah dan
merenung. Tindakan pembelajar yang melakukan sesuatu dengan pikiran mereka
secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu
pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman
tersebut. Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang
merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna terhadap materi
pelajaran siswa. Guru harus dapat memotivasi siswa agar dapat mengoptimalkan intelektualnya
dengan membiarkan siswa merumuskan sendiri materi pelajaran yang diperoleh,
mendiskusikan pengetahuan barunya, membiarkan aktif bertanya, mengkritik maupun
menggugat di dalam kelas.
Belajar dapat
optimal jika keempat karakteristik dari Somatic, Auditori, Visual, Intelektual
(SAVI) ada dalam satu peristiwa pembelajaran. Misalnya, orang akan dapat
belajar sedikit dengan menyaksikan prsentasi (V), tetapi mereka dapat belajar
jauh lebih banyak jika mereka dapat melakukan sesuatu ketika presentasi sedang berlangsung (S), membicarakan apa yg
sedang mereka pelajari (A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut dalam pekerjaan
mereka (I). Dengan kata lain akal menerima fakta dari indra untuk kemudian
diintreprestasikan dengan informasi terkait. Sehingga fakta dapat dimaknai dari
penggabungan informasi tersebut.
2.1.4 Langkah – langkah Penerapan Pendekatan
Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
A.
Tahapan-tahapan Pendekatan
Somatic, Auditori, Visual, Intelektual (SAVI)
Tahapan yang perlu ditempuh dalam Pendekatan Somatic,
Auditori, Visual, Intelektual (SAVI) adalah persiapan, penyampaian, pelatihan,
dan penampilan hasil. Kreasi apapun, guru perlu dengan matang, dalam keempat
tahap tersebut.
1.
Tahap Persiapan
(Kegiatan Pendahuluan)
Pada
tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan
datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Secara
spesifik meliputi hal:
a.
Memberikan sugesti
positif.
b.
Meberikan
pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa.
c.
Memberikan tujuan
yang jelas dan bermakna.
d.
Membangkitkan rasa
ingin tahu.
e.
Menciptakan
lingkungan fisik yang positif.
f.
Menciptakan
lingkungan emosional yang positif.
g.
Menciptakan
lingkungan sosial yang positif.
h.
Menenangkan rasa
takut.
i.
Menyingkirkan
hambatan-hambatan belajar.
j.
Banyak bertanya dan
mengemukakan berbagai masalah.
k.
Merangsang rasa
ingin tahu siswa.
l.
Mengajak pembelajar
terlibat penuh sejak awal.
2.
Tahap Penyampaian
(Kegiatan Inti)
Pada
tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang baru
dengan cara melibatkan panca indera, dan cocok untuk semua gaya belajar.
Hal-hal yang dapat dilakukan guru:
a.
Uji coba
kolaboratif dan berbagai pengetahuan.
b.
Pengamatan fenomena
dunia nyata.
c.
Pelibatan seluruh
otak, seluruh tubuh.
d.
Presentasi
interaktif.
e.
Grafik dan sarana
yang presetasi berwarna-warni.
f.
Aneka macam cara
untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar.
g.
Proyek belajar
berdasar kemitraan dan berdasar tim.
h.
Latihan menemukan
(sendiri, berpasangan, berkelompok).
i.
Pengalaman belajar
di dunia nyata yang kontekstual.
j.
Pelatihan
memecahkan masalah.
3.
Tahap Pelatihan
(Kegiata Inti)
Pada
tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap
pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara. Secara spesifik, yang
dilakukan guru yaitu:
a.
Aktivitas
pemrosesan siswa.
b.
Usaha aktif atau
umpan balik atau renungan atau usaha kembali.
c.
Simulasi
dunia-nyata.
d.
Permainan dalam
belajar.
e.
Pelatihan aksi
pembelajaran.
f.
Aktivitas pemecahan
masalah.
g.
Refleksi dan
artikulasi individu.
h.
Dialog berpasangan
atau berkelompok.
i.
Pengajaran dan
tinjauan kolaboratif.
j.
Aktivitas praktis
membangun keterampilan.
k.
Mengajar balik.
4.
Tahap Penampilan
Hasil (Tahap Penutup)
Pada
tahap ini hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau
keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan
penampilan hasil akan terus meningkat. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah:
a.
Penerapan dunia
nyata dalam waktu yang segera.
b.
Penciptaan dan
pelaksanaan rencana aksi.
c.
Aktivitas penguatan
penerapan.
d.
Materi penguatan
persepsi.
e.
Pelatihan terus
menerus.
f.
Umpan balik dan
evaluasi kinerja.
g.
Aktivitas dukungan
kawan.
h.
Perubahan
organisasi dan lingkungan yang mendukung.
2.2
Ilmu Pengetahuan Sosial di SD
2.2.1
Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah suatu
bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan
modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan
keterampilan-keterampilan sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, dan
ekonomi. Puskur (Kasim, 2008:4). Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan
disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi
memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dengan wilayah-wilayah,
sedangkan sejarah memberikan kebulatan wawasan berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa dari berbagai priode. Antropologi meliputi studi-studi
komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai kepercayaan, struktur sosial,
aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan
spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu
ekonomi tergolong kedalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas
yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi merupakan ilmu-ilmu
tentang prilaku seperti konsep peran kelompok, institusi, proses interaksi dan
kontrol sosial.
Kosasi Djahiri (Yaba, 2006:5)
menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah merupakan ilmu
pengetahuan yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari cabang ilmu sosial dan
ilmu lainnya serta kemudian diolah berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan dan
didaktif untuk dijadikan program pengajaran pada tingkat persekolahan.
Nursid Sumaatmadja (Supriatna, 2008:1)
mengemukakan bahwa "Secara mendasar pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku
dan kebutuhannya”. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) berkenaan dengan cara manusia
menggunakan usaha memenuhi kebutuhan materinya, memenuhi kebutuhan budayanya,
kebutuhan kejiwaannya, pemanfaatan sumber yang ada dipermukaan bumi, mengatur
kesejahteraan dan pemerintahannya, dan lain sebagainya yang mengatur serta
mempertahankan kehidupan masyarakat manusia.
Sedangkan menurut Leonard (Kasim, 2008:4)
mengemukakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menggambarkan interaksi
individu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam lingkungan mulai dari yang
terkecil misalkan keluarga, tetangga, rukun tetangga atau rukun warga, desa /
kelurahan, kecamatan, kabupaten, profinsi, Negara dan dunia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah disiplin-displin ilmu sosial ataupun
integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti : sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, dan antropologi yang mempelajari masalah-masalah sosial.
2.2.2 Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial
Mata pelajaran
IPS disekolah dasar marupakan program pengajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi dimasyarakat, memilki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS disekolah
diorganisasikan secara baik.
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian
dengan judul “Efektivitas pendekatan somatis, auditori, visual, intelektual
dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial islam di SD Negeri 3 Mlandingan
Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo” merupakan penelitian
kualitatif. Berg (dalam Satori dan Komariah, 2010: 23) menyatakan bahwa “Qualitative
Research (QR) thus refers to the meaning, conceps, definition, characteristics,
simbols, and descriptions of things”. Maksudnya adalah penelitian
kualitatif mengacu pada suatu maksud atau arti, konsep-konsep, definisi,
karakteristik, simbol-simbol, dan deskripsi dari berbagaial. Bogdan dan Taylor
(dalam Moleong, 2010: 4), menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati. Sejalan
dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2010:4)
mendefinisikan metode kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu pengetahuan
yang bergantung pada pengamatan seseorang. Pengamatan tersebut berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian
kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menekankan pada kualitas
atau mutu suatu penelitian yang mengacu pada teori, konsep, definisi,
karakteristik, maupun simbol-simbol. Penelitian tersebut dilakukan berdasarkan
pengamatan seseorang terhadap latar alamiah atau lingkungan sosial yang
menghasilkan data deskriptif.
Data
deskriptif merupakan data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka
(Moleong, 2010: 11). Data deskriptif diperoleh dalam sebuah penelitian
kualitatif yang hasilnya dideskripsikan berdasarkan pada tujuan penelitian.
Data ini biasa ditemukan dalam struktur internal bahasa, yaitu struktur bunyi
(fonologi), struktur kata (morfologi), struktur kalimat (sintaksis), struktur
wacana dan struktur semantik (Chaer, 2007: 9).
3.2 Kehadiran Peneliti
Kehadiran
peneliti adalah untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka
peneliti hadir dalam setiap proses pemelajaran pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) yang dilakukan objek penelitian di SD Negeri 3 Mlandingan Kulon
Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo. Hal terseut dilakukan bertujuan untuk
megetahui efektivitas pembelajaran yang dilakukan didalam proses pembelajaran.
Kehadiran
peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrument sekaligus pengumpul
data. Melalui cara pengamatan ini, peneliti berusaha untuk mengamati kegiatan
subjek dalam proses pembelajaran dan mencatat segala sesuatu yang terjadi dalam
proses pembelajaran.
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian merupakan wilayah dimana diadakan suatu penelitin. Penentuan lokasi
penelitian ini tidak ada ketentuan seberapa luas yang harus dimulai untuk di
tetapkan sebagai daerah penelitian. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Sutrisno
Hadi (2001:67) yang menyatakan bahwa : “Research sudah tidak diadakan atau di
laksanakan dimana – mana atau disemarang tempat, melainkan tempat – tempat yang
terbatas dan waktu atau peristiwa tertentu pula.
Dari
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penentuan daerah penelitian sangatlah
penting sesuai dengan menentukan daerah penelitian atau mempermudah dalam
melakukan penelitian. Daerah penelitian ditetapkan di SD Negeri 3 Mlandingan
Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo.
3.4 Data dan Sumber data
Sumber
data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data.
Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder.
A.
Data primer yaitu
data yang dibuat oleh peneliti dengan maksud khusus menyelesaikan permasalahan
yang sedang ditangani. Data dikumpulkn sendiri oleh peneliti dari sumber
pertama atau tempat penelitian yang dilakukan, diantaranya kepala sekolah, guru
dan bebera siswa SD Negeri 3 Mlandingan Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten
Situbondo.
B.
Data sekunder
adalah data yang telah dikumpulkan dengan tujuan menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi, data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian yang
dijadikan sumber data sekunder berupa literatur, artikel, jurnal, serta situs
di internet.
Selain
data primer, sumber data yang dipakai peneliti adalah sumber data sekunder.
Data sekunder dapat melalui berbagai sumber literature yang berkenaan dengan
penelitian yang dilakukan.
3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Adapun
metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
3.5.1 Dokumentasi
Teknik ini merupakan alat
pengumpulan data dengan melihat beberapa dokumen seperti buku induk, raport
atau buku laporan pendidikan, buku priadi, surat – surat keterangan dan
sebagainya. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal – hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.(Arikunto,2006:231)
Metode dokumentasi lebih mudah
di bandingkan dengan metode lainnya karena metode dokumentasi tidak begitu
sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih belum berubah.
Dalam metode dokumentasi yang diamati meliputi data siswa dan hasil belajar
siswa.
3.5.2 Observasi
Observasi adalah teknik
pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan serta pengalaman dan pencatatan
secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian tentang
Efektivitas pendekatan somatis, auditori, visual, intelektual dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial islam di SD Negeri 3 Mlandingan Kulon
Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo.
Peneliti melakukan pengamatan
di dalam pembelajaran khususnya pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang
dijadikan sebagai objek penelitian, dimana objek penelitian tersebut dilakukan
di SD Negeri 3 Mlandingan Kulon Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo.
3.5.3 Wawancara
Dalam penelitian ini, peneliti
terlebih dahulu menentukan informas sebagai sumber utama dalam pengumpulan
data. Informasi awal yang dipilih harus mempunyai hubungan atau ketrkaitan
dengan masalah. Jumlah informasi tidak dibatasi, tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan informasi yang diperlukan. Peneliti mencari orang – orang yang benar
– benar mengetahui tentang data – data dan informasi yang diperlukan.
Dalam penelitian ini penentuan
informasi atau responden dilakukan dengan teknik purposive (bertujuan). Purposive
menurut sugiono (2005:96) penentuan informasi dengan pertimbangan tertentu.
Jadi penelitian ini menggunakan metode purposive
dengan mempertimbangkan kriteria informasi.
Wawancara merupakan percakapan
dengan tujuan tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
dan yang diwawancarai atau interview yang memberikan jawaban, agar mendapatkan
data yang sesuai dengan pokok permasalahan yag yang diajukan maka dalam
wawancara digunakan pedoman pertanyaan agar data yang diperoleh bersifat umum.
3.6 Analisis Data
Teknik
analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam
suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran
yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola
uraian dan memberikan hubungan di antara dimensi – dimensi uraian. Analisis
data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan
merumuskan hipotesis seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut, jika dikaji definisi
diatas lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data sedangkan definisi
tersebut dapat pengorganisasian data sedangkan definisi kedua lebih menekankan
maksud dan tujuan analisis data pdan dari kedua definisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan, analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengumpulkan data
kedalam pola, kategori dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis
data bermaksud atas nama mengorganisasikan data, data yang terkumpul banyak
sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto,
dokumen, laporan dan lain – lain, dan pekerjaan analisis data adalah mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, dan memberikan suatu kode tertentudan
mengkategorikannya, pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan tema
dan hopotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif (Moeloeng,
2007 : 103).
Analisis
data kualitatif terdiri dari alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu:
Reduksi data, Penyajian Data, dan verifikasi.
A.
Reduksi Data
Reduksi data dalam penelitian
ini menjalankan analisis, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik
dan di verifikasi.
B.
Penyajian Data
Data yang dimaksid
dalam penelitian ini adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun
dengan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
dalam bentuk uraian singkat. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, hubungan antara kategori dan sejenisnya.
C.
Menarik Kesimpulan
/ Verifikasi
Langkah selanjutnya dalam
analisis kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal
yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan
bukti – bukti yang kuat yang dapat mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya.
Apabilan kesimpulan yang di
temukan pada tahap awal, didukung oleh bukti – bukti yang valid dan konsisten
pada saat penelitian kembali kelapangan untuk mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.7 Pengecekan
Keabsahan Temuan
Teknik
pengujian keabsahan data dalam penelitian ini meliputi uji kredibilitas
(validitas internal), uji kredibilitas (validitas eksternal) dan uji
confermability (obyektivitas).
Dalam
hal ini, karena penelitian yang digunakan adalah studi kasus maka peneliti
hanya menguji uji kredibilitas (validitas internal), dan uji kredibilitas
(validitas eksternal).
- Uji Kredibilitas (validitas internal)
Adapun macam – macam uji
kredibilitas menurut sugiono (2014) antara lain dilakukan perpanjangan
pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, analisis kasus
negatif, menggunakan bahan refrensi dan mengadakan membercheck.
1.
Perpanjangan
Pengamatan
Dengan
perpanjang pengamatan berarti lagi dengan sumber data yang pernah ditemui
maupun yang baru. Perpanjangn pengamatan ini perarti hubungan peneliti
dengan narasumber akan semkin terbentu rapport, semakin akrab (tidak ada jarak
lagi), semakin terbukti, saling mempercayai sehingga tidak ada imformasi yang
disembunyikan lagi. Pada tahap awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih
dianggap orang asing, masih dicurigai, sehingga imformasi yang diberikan belum
lengkap, tidak mendalam, dan mungkin masih banyak yang dirahasiakan. Berapa
lama perpanjangan ini dilakukan, akan sangat tergantung pada keadaan, keluasan
dan kepastian data. Kedalaman artinya apkah peneliti ingin menggali data sampai
pada tingkat makna. Makna berarti data yang di balik yang tampak. Yang tampak
orang sedang menangis, tetapi sebenarnya dia tidak sedih tetapi mala sedang
bahagi. Keluasan berarti, banyak sedikitnya imformasi yang diperoleh. Dalam
perpanjangn pengamatan untuk mengoji kreadibilitas data penelitian ini,
sebaiknya difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah diperoleh, apa
data yang diperoleh itu setelah dicek kembali kelapangan benar atau tidak,
berubah atau tidak, bilah setelah dicek kembali ke lapangan data suda benar
berarti kredibel, maka wakyu perpanjangn pengamatan dapat diahiri.
2.
Meningkatan
Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukankan
pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka
kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan
sistematis. Sebagai conto melihat sekelompok masyarakat yang sedang olah raga
pagi. Mengapa dengan meningkatkan ketekunan dapat meningkatkan kredibilitas
data? Meningkatkan ketekunan itu ibarat kitamengecek soal-soal, atau makala
yang telah dikerjakan, ada yang salah satu tidak. Dengan meningkatkan katekunan
itu, maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang
telah ditemukan itu salah atau tidak. Dengan demikian juga dengan meningkatkan
ketekunan maka, peneliti dapat memberikan diskripsi data yang akurat dan
sistematis tentang apa yang diamati.sebagai bekal peneliti untuk menigkatkan
ketekunan dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian
atau dokumentasi-dokumintasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.
3.
Triangulasi
Triangulasi
dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara. Dan berbagai waktudengan demikian
terdapat triangulasi sumber, trangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.
a.
Triangulasi
sumber
Triangulasi
sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberap asumber. Sebagai contoh, untuk menguji
kredibilitas data tentang daya kepemimpinan seseorang, maka pengompulan data
pengujian data yang telah diperoleh dilakukan kebawahan ke bawahan yang
dipimpin,ke atasan yang menugasi , dan keteman kerja yang merupakan kelompok
kerjasama.
b.
Triangulasi
teknik
Triangulasi teknik untu menguji kredibilitas data
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
derbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan opservasi,
dokumentasi atau kuesioner.
c.
Triangulasi
waktu
Triangulasi juga sering mempengaruhi
kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawncara dipagi hari
saat nara sumber masi segar belum banyak masalah, akan memberikan data yang
lebih valid sehingga lebih kredibel.
4.
Analisis Kasus
Negatif
Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau
berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Mengapa dengan
analisis kasus nigatif akan dapat meningkatkan kredibilitas data? Melakukan
analisis kasus nigatif bersrti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan
bertentangan dengan data yang tela ditemuka. Bila tidak ada lagi data yang
berbeda atau bertentangan dengan data yang ditemukan, maka peneliti mungkin
akan meruba temuannya.
5.
Mengunakan
bahan referensi
Yang dimaksud menggunakan referensi di sini adalah
adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.
Sebagai contoh, data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman
wawancara.
6.
Mengadakan
Member Check
Member check adalah proses
pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member
check adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Agar informasi yang diperoleh dan
akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber
data atau informan.
Pelaksanaan member check dapat dilakukan
setelah satu periode pengumpulan data selesai, atau setelah mendapat suatu
temuan atau kesimpulan. Caranya dapat dilakukan secara individual, dengan cara
peneliti datang ke pemberi data, atau melalui forum kelompok.
Peneliti kualitatif biasanya tidak menggunakan kata
bias dalam penelitian; mereka akan mengatakan bahwa semua peneliti
adalah interpretif dan bahwa peneliti harus menjadi reflektif diri mengenai
perannya dalam penelitian, bagaimana dia menginterprestasikan temuan, dan
sejarah personal dan politiknya yang membangun interprestasinya. Dengan
demikian, akurasi dan kredibilitas temuan adalah sangat penting. Terdapat
berbagai istilah yang digunakan peneliti kualitatif untuk mendiskripsikan
akurasi dan kredibilitas ini (misalnya authenticity dan trustwortiness),
dan strategi yang digunakan untuk validasi perhitungan
kualitatif bervariasi dalam jumlah. Perhatian kita disini pada tiga
bentuk yang biasa digunakan oleh peneliti kualitatif: triangulation, member
checking, dan auditing.
- Uji Transferability (validitas eksternal)
Transferability merupakan
validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas eksternal
menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian kepada
populasi tempat sampel penelitian diperoleh. Nilai transfer ini berkenaan
dengan pertanyaan sejauh mana hasil penelitian dapat digunakan dalam situasi
yang lain. Bagi peneliti naturalistik, nilai transfer bergantung kepada
pemakai.
Kriteria transferabiliti merujuk pada tingkat
kemampuan hasil penelitian kualitatif dapat digeneralisasikan atau
ditransfer. Penelitian kualitatif dapat meningkatkan transferabilitas dengan
melakukan suatu pekerjaan mendiskripsikan konteks penelitian dan asumsi-asumsi
yang menjadi sentral pada penelitian tersebut.
Agar orang lain dapat memahami hasil penelitian
kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut,
peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas,
sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, pembaca menjadi jelas dalam
memahami hasil penelitian tersebut sehingga ia dapat memutuskan dapat atau
tidaknya mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat lain.
- Uji Dependability (reliabilitas)
Kriteria dependabilitas sama dengan reliabilitas
dalam penelitian kuantitatif. Pandangan kuantitatif tradisional tentang
realibilitas didasarkan pada asumsi replikabilitas (replikability) atau
keterulangan (repeatability). Secara esensial itu berhubungan dengan
apakah kita akan memperoleh hasil yang sama jika kita melekukan pengamatan yang
sama untuk kali yang kedua. Untuk menetapkan reliabilitas peneliti kuantitatif
biasanya membangun berbagai pikiran hipotesis ( misalnya teori skor benar ) untuk
menyelesaikan hal ini. Dalam penelitian kualitatif, uji dependability
ditempuh dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.
Audit dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar